Subhan- Tanggap Bencana

Tahun 2024, Kemarau panjang di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur menyebabkan kekeringan dan krisis air bersih terjadi di sana/ Foto; Subhan, Tim Tanggap Bencana HSI BERBAGI saat giat pipanisasi di desa Sudimoro, Pacitan, Jawa Timur.
Jakarta, hsi.berbagi.id– BMKG mencatat bahwa tahun 2024 resmi menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental, dengan suhu rata-rata global mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri. Angka ini melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan dalam Forum Inovasi Climate Smart Indonesia, di Jakarta, belum lama ini.
“Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia,” ujarnya.
Dikutip dari laman BMKG, perubahan suhu yang terjadi saat ini jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu. Ia menegaskan, bahwa percepatan ini menjadi indikator serius akan krisis iklim yang tengah berlangsung.
Tanpa upaya mitigasi yang kuat dan kolaboratif, perubahan suhu yang ekstrem ini berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia.
“Jika punahnya dinosaurus dipicu oleh perubahan suhu yang berlangsung dalam jutaan tahun, kita sekarang mengalami lonjakan serupa hanya dalam 30 hingga 40 tahun,” jelasnya.
Data observasi BMKG menunjukkan tren peningkatan suhu yang terus berlanjut sejak tahun 1981. Tahun 2024 mencatat suhu rata-rata nasional tertinggi sebesar 27,52°C. Kondisi ini, menurut Dwikorita, bukan sekadar anomali, tetapi bukti nyata bahwa krisis iklim telah berlangsung dan akan berdampak langsung pada sektor-sektor vital, termasuk kesehatan publik.
Penyakit Menular meningkat
Perubahan iklim yang terjadi tidak hanya menyebabkan cuaca ekstrem, juga dapat meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, gangguan kesehatan mental, hingga memburuknya kualitas hidup masyarakat. Perubahan pola curah hujan dan suhu berkontribusi terhadap meningkatnya kasus infeksi berbasis air dan makanan, seperti kolera dan salmonella, serta penyakit akibat gigitan serangga seperti demam berdarah dan Lyme disease.
Menjawab tantangan tersebut, secara bersama BMKG melakukan Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), didukung oleh Institute for Health Modeling and Climate Solutions (IMACS) dan Mohamed bin Zayed University of Artificial Intelligence (MBZUAI) mengembangkan inisiatif Climate Smart Indonesia, berupa sistem peringatan dini multi-bahaya yang berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Sistem ini dirancang tidak hanya untuk memperingatkan potensi bencana alam seperti gempa dan tsunami, tetapi juga untuk mendeteksi dini lonjakan penyakit yang sensitif terhadap iklim.
“Dengan teknologi saat ini, BMKG bisa memprediksi musim hingga enam bulan ke depan dengan akurasi 85 persen. Dengan bantuan AI, prediksi ini bisa lebih akurat dan presisi, hingga skala kota, kabupaten atau bahkan satu desa,” ungkap Dwikorita.
Selain itu, BMKG juga mengembangkan platform layanan seperti DBDKlim, yang telah diterapkan di Jakarta dan Bali untuk memberikan peringatan dini terhadap potensi lonjakan kasus demam berdarah. Inisiatif ini berhasil mendorong pemerintah daerah melakukan langkah-langkah aksi dini (aksi preventif) seperti fogging, edukasi masyarakat, dan pemberantasan sarang nyamuk secara terarah dan tepat waktu.
Indonesia, saat ini sedang bersiap memasuki musim kemarau, yang biasanya diiringi peningkatan suhu dan memburuknya kualitas udara. Risiko kekeringan dan polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5, semakin tinggi karena minimnya curah hujan dan pergerakan angin yang stagnan.
“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim. Kolaborasi adalah satu-satunya jalan,” ucap Dwikorita menegaskan.*